Explore
Also Available in:

Iman dan fakta

Bagaimana wawasan dunia (worldview) Alkitabiah memberikan bukti yang paling masuk akal, sehingga orang yang tidak beriman pun 'tidak dapat berdalih'

oleh
penerjemah Sostenis Tandi Pasang

Diterbitkan: 1 March 2016 (GMT+10)
13707-evidence
Setiap orang memiliki fakta yang sama, seperti fosil, batu, dll. Bagaimana seseorang mengartikan fakta-fakta itu sangat tergantung pada anggapan seseorang — atau wawasan dunia — yang mereka perdebatkan. Namun satu wawasan dunia memberikan penjelasan terhadap suatu bukti dengan lebih baik dan secara koheren, sehingga “penjelasan tersebut tidak berdalih” (Roma 1:20).

‘Buktikan padaku bahwa Tuhan menciptakan segalanya!’ Pernahkah ada yang mengatakan hal ini kepada anda? Atau 'Buktikan padaku bahwa Tuhan itu ada'? Pernahkah Anda mencoba menghadapi hal tersebut, tetapi menemui jalan buntu di mana orang yang menantang tersebut menolak apa pun yang Anda tawarkan? Teman Anda bahkan mungkin berkata, "Anda hanya memiliki iman, Anda tidak memiliki bukti, saya mendasarkan keyakinan saya pada bukti."

Yang terjadi pada situasi ini adalah teman Anda tersebut menggunakan wawasan dunia yang berbeda, yaitu pandangan yang terlalu luas tentang segala sesuatu untuk menilai suatu bukti. Wawasan dunia non-Kristen yang umum di Barat saat ini adalah sekularisme/ateisme yang didasarkan pada naturalisme. Pandangan ini tidak mengenal Pencipta Ilahi dan tentu saja bukan Allah yang diungkapkan Alkitab, atau sejarah karya-Nya yang dicatat dalam Alkitab. Ketika berhadapan dengan situasi demikian argumen Anda layaknya diterima oleh orang yang tuli.

Alkitab mengatakan bahwa orang-orang seperti itu tidak memiliki alasan untuk mengadopsi pandangan yang mengecualikan Allah. Roma 1:18 mengatakan bahwa mereka menekan kebenaran dalam ketidakbenaran mereka karena keberadaan Allah terbukti dari apa yang telah Dia ciptakan (ayat 19ff).

Dalam wawasan dunia sekuler, orang-orang cerdas berusaha dengan tergesa-gesa mencari cara-cara yang terdengar pintar untuk mencoba menjelaskan bagaimana alam semesta menciptakan dirinya sendiri, kehidupan membuat dirinya sendiri, dan keanekaragaman bentuk kehidupan di bumi juga membuat diri mereka sendiri. Ini adalah skema besar evolusi kosmik. Mereka menghabiskan banyak energi untuk membuat mereka kelihatan benar-benar tahu bagaimana hal-hal tersebut tercipta. Bahkan kemungkinan banyak dari hal ini adalah upaya mereka untuk meyakinkan diri mereka sendiri - sebab penekanan yang disebutkan di atas tidak berarti mereka pahami semua secara sadar. Pembahasan yang berlarut-larut dan tanpa kesimpulan yang jelas mereka klaim sebagai ‘pandangan ilmiah’, padahal segala sesuatu yang muncul dari ketiadaan bertentangan dengan sesuatu yang ditegaskan oleh setiap percobaan ilmiah yang pernah dilakukan. Pada intinya, ilmu pengetahuan berjalan berlandaskan hukum sebab dan akibat; bahwa hal-hal tidak terjadi tanpa sesuatu yang cukup untuk menyebabkannya terjadi.1 Tetapi 'topik kecil' tersebut hanya disepelehkan.

Di sini Kita berbicara tentang presuposisi; suatu asumsi atau aksioma mendasar yang dibawa orang kepada suatu bukti, dan yang mereka gunakan untuk menafsirkannya bukti tersebut. Sangat penting untuk mengingat dan menyatakan bahwa setiap orang membawa wawasan dunia dalam suatu perdebatan ketika mempertimbangkan asal-usul segala sesuatu. Kita semua memiliki bukti yang sama di masa kini yang kita interpretasikan menurut suatu sejarah yang diasumsikan tentang asal mula segala sesuatu — baik itu benda yang entah bagaimana tercipta dengan sendirinya, atau bahwa Allah menciptakan mereka.

Jadi, hal ini bukanlah 'ilmu pengetahuan versus agama' atau 'fakta versus iman' tetapi satu keyakinan versus keyakinan lain. Sangatlah penting untuk menunjukkan kepada seseorang bahwa pandangan mereka, apa pun itu, bukan hanya 'fakta', tetapi bahwa mereka telah membawa asumsi tertentu (aksioma) ke meja perdebatan di mana mereka tidak memiliki bukti, dan bahwa anggapan mereka menentukan bagaimana mereka menafsirkan fakta yang kemudian mereka klaim sebagai bukti atas wawasan dunia mereka.

Para kreasionis Alkitab menafsirkan fakta/data sehubungan dengan aksioma yang diungkapkan oleh Alkitab: penciptaan sekitar 6.000 tahun yang lalu, Kejatuhan yang membawa dosa dan kematian, dan Air Bah. Dari aksioma yang berbeda-beda ini disimpulkan sejarah dunia yang berbeda untuk menjelaskan bagaimana bukti saat ini muncul. Pada kenyataannya, evolusi adalah ide historis yang disimpulkan dari asumsi materialisme atau naturalisme— semua materi yang ada. Cara lain untuk menjelaskannya, seperti yang dilakukan oleh Dr. Carl Wieland dalam sebuah artikel yang mendalam pada tahun 1988, adalah bahwa para evolusionis pada akhirnya mengeluarkan penciptaan a priori yang bukan berlandaskan bukti, tetapi karena hal itu melanggar 'aturan main' yaitu peraturan materialistis mereka yang putuskan sendiri.

Bagaimana dengan 'fakta'/ bukti?

Di kalangan kreasionis, pemahaman tentang pentingnya presuposisi dalam debat asal-usul telah secara bebas disebut sebagai 'presuposisionalisme' (untuk membedakannya dari 'pembuktian' yang secara naif mengasumsikan bahwa bukti dapat membela dirinya sendiri). Ini sangat penting dalam memajukan dalil kreasionis. Namun, hal ini bisa diartikan terlalu jauh. Beberapa berpendapat bahwa hampir seolah-olah bukti tidak penting, bahwa itu hanyalah soal penafsiran: 'Data yang sama, hanya penafsiran yang berbeda.' Pandangan ini bisa dengan mudah berubah menjadi seperti pandangan post-modernisme, di mana semuanya tergantung bagaimana Anda “memikirkan” sesuatu. Yang bisa kita harapkan untuk lakukan adalah mengubah wawasan dunia seseorang sehingga dia dapat mulai melihat bukti yang sama dalam cahaya yang berbeda yang sesuai dengan wawasan dunia Kristen. Para pendukung sering merekomendasikan pendekatan itu, daripada berurusan dengan masalah penciptaan-evolusi, yang melibatkan perdebatan filosofis dari dasar yang dipegang oleh orang yang tidak percaya yaitu dengan menunjukkan bagaimana anggapan mereka gagal untuk menjelaskan bukti yang mereka pakai sebagai dasar pemikiran mereka.

Beberapa kelompok lainnya bahkan melangkah terlalu jauh dengan meremehkan 'logika manusia' dan menyiratkan (seringkali bahkan melalui perdebatan secara terang-terangan) bahwa kebenaran, logika, dan pemikiran manusia berbeda dari Tuhan. Mereka menganggap bahwa dosa asal menyebabkan pemikiran yang sepenuhnya bejat sehingga manusia yang belum dilahirkan kembali (yang bukan Kristen) tidak dapat memikirkan pemikiran logis apa pun. Namun, jika demikian maka itu akan membuat pengajaran Roma 1: 18ff menjadi tidak jelas. Jika orang menekan kebenaran di dalam ketidakbenaran (ayat 18), pada tingkatan tertentu mereka harus tahu apa kebenaran itu untuk dapat menekannya. Lebih lagi, Alkitab mengatakan bahwa mereka "tidak memiliki dalih" (ayat 20) karena menyangkal bahwa Allah itu ada. Jika mereka tidak dapat melihatnya karena mereka tidak dapat berpikir dengan cukup jelas, maka mereka akan memiliki dalih.

Demikian juga, dalam 2 Petrus 3 kita membaca bahwa "di hari-hari terakhir akan tampil pengejek-pengejek" yang menyangkal bahwa Allah menciptakan segalanya dan bahwa Dia menghancurkan dunia dalam Air Bah pada zaman Nuh. Dikatakan bahwa mereka "sengaja lupa". Di sini juga, mereka tidak mengabaikan kebenaran; mereka menekannya. Ini adalah pengabaian yang disengaja, bukan hanya sekedar pengabaian. Allah tidak menghukum orang karena apa yang tidak mereka ketahui, atau tidak pahami, tetapi karena dengan sengaja melawan apa yang mereka ketahui; bahwa Dia ada. Ini adalah dosa.

Jadi, Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa beberapa kebenaran mendasar tentang Allah dan perbuatan-Nya dipahami oleh orang yang tidak percaya, mereka hanya menekan pemahaman tersebut.

Hukum logika universal?

Agar semua orang dapat melihat hal-hal ini, tersiratkan bahwa harus ada prinsip-prinsip logika / penalaran tertentu yang bersifat universal, yang telah dibangun oleh Tuhan di dalam diri kita.

Merenungkan tulisan-tulisan ahli apologetika Kristen yang besar di abad ke-18, Jonathan Edwards dan Martin Murphy menulis, "Hukum non-kontradiksi,2 hukum kausalitas,3 dan keandalan dasar persepsi indra adalah tiga komponen yang diperlukan untuk mengkomunikasikan kebenaran."4 Hukum-hukum logika semacam itu tertanam dalam tatanan yang diciptakan, sehingga hukum-hukum itu diungkapkan dalam penciptaan. Tanpa ketiganya, kita tidak mungkin menyeberang jalan dengan aman. Orang-orang Kristen dan non-Kristen sama-sama dapat menyeberang jalan dengan aman karena Allah telah menganugerahi semua orang dengan prinsip-prinsip penalaran ini, yang dengannya kita juga dapat memahami kebenaran proposisional.

Logika semacam itu sudah dibangun dari dalam, suatu bagian dari cara di mana ciptaan mengungkapkan sifat-sifat Allah (Roma 1: 19ff). Kita mungkin melihat ini sebagai bagian dari apa yang oleh para teolog disebut 'anugerah umum' dimana Tuhan telah memberkati semua orang.

Beberapa orang berpendapat bahwa untuk memahami Alkitab, kita harus mendapatkan pemahaman tentang bagaimana memahami Alkitab melalui Alkitab — ‘hermeneutika alkitabiah'.5 Namun, bagaimana Anda memperoleh sesuatu dari Alkitab tanpa hermeneutika yang sudah ada sebelumnya? Hermeneutika itu harus berakar pada tiga prinsip universal yang dicantumkan oleh Murphy di atas.

Teolog Herman Hoeksema menjelaskannya dengan lebih terperinci: tidak ada 'pemikiran Tuhan' yang terpisah untuk kata-kata yang berbeda dari 'pemikiran manusia', dan juga tidak ada 'logika ilahi' yang terpisah dari 'logika manusia', jika tidak, Alkitab tidak dapat mengkomunikasikan Kebenaran Allah bagi manusia, seperti yang tedapat pada 2 Timotius 3: 15 - 17:

Entah logika yang diwahyukan adalah logika kita, atau tidak ada pewahyuan sama sekali.6

Memang benar bahwa tanpa campur tangan Tuhan kita tidak dapat memikirkan pemikiran rasional; manusia dapat memikirkan pemikiran rasional tertentu dengan tepat karena Allah telah menganugerahkan ciptaan-Nya dengan rasionalitas; itu mencerminkan sifat-Nya. Tanpa logika / rasionalitas bawaan ini, tidaklah mungkin manusia dapat hidup. Dan karena ini, tidak ada orang yang dapat berdalih.

Kita bahkan dapat melihat logika ini pada bayi, yang bereaksi dengan kejutan ketika menghadapi situasi yang tidak disangka-sangka. Para peneliti menunjukkan perilaku bayi-bayi yang belum bisa berbicara ketika melihat bola memantul di dalam wadah dengan lubang tempat bola bisa keluar. Ketika sebuah bola muncul dari lubang tanpa melakukan lintasan yang memungkinkan ini, bayi-bayi itu terkejut. Mereka berpikir secara logis, meskipun tidak memiliki kata-kata yang dapat digunakan untuk merumuskan pemikiran mereka.7 Demikian juga, anak-anak Jepang yang belum bersekolah percaya pada pencipta segalanya yang cerdas dan tidak terlihat.8 Ini adalah budaya di mana agama Buddha dan Shinto dari orang dewasa tidak mengakuti adanya Tuhan, Sang Pencipta. Logika adalah bawaan lahir dan kesimpulan dari logika itu, misalnya bahwa Tuhan itu ada, haruslah ditekan.

Mengubah Wawasan Dunia

13707-believe
Orang non-Kristen sering mengklaim tidak memihak, hanya 'menghadapi fakta', tetapi jelas bukan ini masalahnya. Alkitab mengatakan bahwa mereka yang tidak mengakui Allah Pencipta 'menindas kebenaran' (Roma 1: 18ff)


Bagaimana kita membantu seseorang menyadari bahwa wawasan dunia (agamanya) tidak berdasar? Sekedar menyatakan bahwa wawasan dunia kita adalah yang terbaik, tidak akan banyak membantu kita dalam upaya ini. Dengan menyatakan, seperti yang dilakukan beberapa orang, bahwa mereka harus menerima wawasan dunia kita (yang berasal dari aksioma bahwa Alkitab adalah wahyu Allah bagi manusia dan benar dalam semua yang dinyatakanNya) juga tidak akan membantu sebelum mereka dapat memikirkan sesuatu yang rasional — terutama karena, seperti ditunjukkan sebelumnya, mereka jelas bisa, bahkan pada masa bayi. Bukan, kita perlu menunjukkan bahwa wawasan dunia mereka sebenarnya tidak memberikan pertanggung jawaban yang baik untuk bukti yang ada di hadapan kita. Dengan kata lain, sebuah bukti adalah penting.

Wawasan dunia yang sehat, seperti yang berasal dari Alkitab, sebenarnya menjelaskan apa yang kita lihat di sekitar kita; ada 'kekonsistenan kebenaran', sedangkan kita dapat menunjukkan bahwa pandangan ateistik, misalnya, tidaklah konsisten.9

Filsuf non-Kristen yang terkenal, Thomas Nagel, telah mengakui bahwa pandangan evolusi modern tentang asal-usul — mitos penciptaan kaum ateis — tidaklah konsisten, sebagaimana dicatat oleh komentator Andrew Ferguson:

“Asumsi kerjanya (Nagel) adalah, berdasarkan iklim intelektual saat ini, radikal: Jika materialis, ortodoksi neo-Darwinian bertentangan dengan akal sehat, maka ini bertentangan ortodoksi, bukan menentang akal sehat. Ketika rantai penalaran membuat kita menyangkal hal yang jelas, kita harus memeriksa ulang rantai penalaran tersebut sebelum kita menyerah pada yang nyata-nyata sudah jelas.”10

Hal ini sekali lagi mencerminkan (Roma 1), di mana dikatakan ketika orang-orang menekan kebenaran tentang keberadaan-Nya, Allah menyerahkan mereka kepada pemikiran yang sia-sia: “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepadaNya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi. ”(Roma 1:21).

Kita melihat ini dalam takaran penuh dalam pola pikir sekuler Barat modern evolusi kosmik, bahwa 'semuanya dibuat sendiri', yang merupakan ide mengejutkan yang bertentangan dengan prinsip paling mendasar dari ilmu pengetahuan dan rasionalitas.11

Materialisme / ateisme gagal di berbagai tingkatan. Banyak ateis mengklaim bahwa sains adalah satu-satunya cara untuk mengetahui,12 tetapi karena tidak ada cara bagi sains untuk membuktikan hal ini, klaim itu sendiri tidak mampu untuk diketahui sebagai sebuah kebenaran. Jadi posisi ini (‘scientism’) membantah dirinya sendiri. Memang, akibat wajar dari Teorema Ketidaklengkapan Gödel, prinsip matematika dan filosofi yang sekarang diterima dengan baik, adalah bahwa tidak ada badan pengetahuan yang dapat mengotentikasi pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, sains tidak dapat membuktikan bahwa sains itu valid. (Sebagai tambahan, tidak akan pernah ada 'teori segalanya', seperti yang diharapkan oleh Stephen Hawking, seorang ateis.)

Presuposisi yang dibutuhkan untuk melakukan sains tidak berasal dari sains; mereka datang dari luar sains. Memang, mereka datang dari wawasan dunia Kristen yang alkitabiah.13

Kaum ateis /materialis percaya bahwa keberadaan kita adalah kecelakaan kosmik; asal usul kita pada akhirnya bergantung pada peristiwa acak (misalnya, mutasi evolusi biologis adalah peristiwa acak). Namun, seperti yang ditunjukkan oleh ahli apologetika Kristen C.S. Lewis, asal-usul acak tidak akan memberikan dasar untuk mempercayai pemikiran yang dapat dipercaya (non-acak) tentang asal-usul itu.14 Model kepercayaan seperti ini sekali lagi menyangkal dirinya sendiri.

Ada banyak 'fakta' yang tidak masuk akal dalam wawasan dunia yang ateistik: keberadaan altruisme, cinta, dan kecerdasan misalnya. Ada desain luar biasa pada makhluk hidup — seperti kode bahasa DNA, yang tidak mungkin dipertanggungjawabkan tanpa desain cerdas.15 Hampir setiap fitur biologis, terutama pada tingkat molekuler, menunjukkan kompleksitas yang tidak dapat direduksi, di mana terdapat banyak komponen kompleks yang harus ada untuk fitur biologis tersebut dapat berjalan.16 Desain cerdas adalah kebenaran yang merongrong dan tidak bisa disangkal para ahli biologi evolusi modern dan setiap hari keberadaan rongrongan tersebut semakin besar dan sulit untuk diabaikan.

Kita juga dapat melihat beberapa bukti kuat tentang Banjir Nuh bagi seluruh dunia dan masalah yang menumpuk pada sistem kepercayaan miliaran tahun (contohnya karbon-14 dalam batu bara pada segala usia, dan senyawa organik rapuh dalam fosil yang katanya berumur jutaan tahun).

Seperti yang dikatakan Dr. Rob Carter,

“Saya merasa bahwa penciptaan adalah penjelasan yang jauh lebih baik untuk dunia di sekitar kita, dan kami membuat langkah besar hampir setiap hari dalam berbagai bidang. Kasus kami semakin kuat, tidak lebih lemah, karena kami belajar lebih banyak tentang kompleksitas genom, geologi katastropik, kosmologi, spesiasi, iklim, penanggalan radiometrik, dll. Saya seorang 'presuposisionalis', bukan 'evidensialis', tetapi saya bukan seorang kreasionis semata karena saya seorang Kristen dan percaya Alkitab. Melainkan Saya juga seorang kreasionis karena saya percaya bobot bukti yang menunjuk pada alam semesta yang muda dan dicipta. Presuposisi saya kuat, tetapi saya merasa itu dipertahankan kebenarannya dengan baik.”17

Pendekatan filosofis CMI dengan demikian secara serius melibatkan diri dengan bukti dari dunia nyata, sambil mengakui pentingnya presuposisi dan wawasan dunia dalam menafsirkannya. Posisi kita mungkin paling tepat dilabeli presuppositionalism klasik.18 Ini mengakui bahwa, meskipun pemahaman kita secara serius dipengaruhi oleh prasuposisi kita, terdapat realitas objektif yang terlepas dari apa yang mungkin kita pikirkan (kita mungkin tidak percaya dengan Hukum Gravitasi tetapi kita masih akan mati jika kita melompat dari tebing). Hal ini juga mengakui pentingnya menunjukkan bahwa satu wawasan dunia (penciptaan alkitabiah) dan aksioma yang menjadi dasarnya memungkinkan penjelasan yang lebih konsisten dan rasional tentang realitas daripada yang lainnya (misalnya naturalisme).

Manfaat dari pendekatan yang tepat

Pendekatan yang tepat membuat saksi menjadi efektif (2 Korintus 10: 5, 1 Petrus 3:15). Kami berhubungan dengan orang-orang yang tidak percaya 'di mana mereka berada' dan tidak menghina mereka dengan mencoba membuktikan atau menyiratkan bahwa mereka tidak dapat memikirkan pemikiran logis apa pun. Selain itu, kami tidak menggunakan argumen filosofis esoteris yang tidak akan dipahami oleh kebanyakan orang, dan yang bisa muncul sebagai tindakan mengelak dari pembuktian.

Sebagaimana Martin Murphy menulis, “Pembela Kristen harus bertemu dengan para pencari pada levelnya sendiri.”19

Dalam semua ini kita mengakui peran vital Roh Kudus dalam memampukan seseorang untuk mengubah sikapnya terhadap Allah (pertobatan / iman). Kutipan Murphy melanjutkan dengan mengatakan (penekanan pada aslinya): "Apologetika tidak bisa dan tidak akan menyelamatkan siapa pun. Pekerjaan Roh Kudus lah yang kuat yang dapat dan akan mengubah hati.”18

Pendekatan-pendekatan yang salah

  1. Evidensialisme. Pendekatan ini adalah posisi dimana bukti 'berbicara untuk dirinya sendiri'. Yaitu, mari kita sajikan bukti untuk desain pada makhluk hidup dan orang-orang ateis lah yang akan meninggalkan mitos penciptaan (evolusi) mereka dan menjadi orang Kristen. Tentu saja, kita mengharapkan bukti penciptaan lebih unggul, karena Roma 1:20 menyatakan bahwa orang "tidak memiliki dalih". Dan kita tahu orang-orang yang dimenangkan oleh bukti, misalnya. ‘Sonia’ dan bahkan Shaun Doyle dari CMI, yang menjadi kreasionis sebelum ia menjadi seorang Kristen.20 Akan tetapi, jika seseorang menjadi orang percaya karena satu 'bukti' tertentu, apa yang terjadi ketika (seperti yang kadang-kadang terjadi baik untuk kreasionis maupun evolusionis) bukti tertentu tersebut atau argumen tertentu tersebut digantikan, atau bahkan terbukti salah ditafsirkan atau dimengerti? Ini membuat orang rentan terhadap apa yang oleh Andrew Lamb CMI disebut sebagai "roller coaster pembuktian" - di mana keyakinan seseorang naik dan turun tergantung pada status 'bukti terbaru' (lihat artikel Mengombang-ambingkan angin). Pendekatan presuposisi menegaskan kebenaran Alkitab, dan pada akhirnya Injil. Sebaliknya, argumen pembuktian murni dari desain, sebagai contoh, dapat membiarkan pintu terbuka untuk ide spekulatif seperti alien yang menjadi pencipta kita.
  1. Fideisme. “Fideisme adalah ketergantungan penuh pada iman tanpa bukti dan / atau alasan.”21,22 Kesalahpahaman terhadap Ibrani 11: 1, saya telah mendengar orang berkata, 'Apa hubungan antara iman dengan bukti?' Beberapa bahkan kecewa dengan gagasan bahwa ada bukti untuk iman Kristen kita (ya, misalnya, makam itu kosong). Pendekatan fideisme melihat iman mereka berkurang jika memiliki bukti untuk mendukungnya. Beberapa tradisi gereja bahkan melihat 'iman' sebagai sesuatu yang menghasilkan pahala dengan Tuhan, dan semakin sulit untuk dipercaya, semakin besar pahala yang diperoleh dengan Tuhan. Tentu saja pandangan iman yang demikian bertentangan dengan pengajaran Alkitab bahwa iman adalah karunia Allah (Efesus 2) sehingga kita tidak memiliki dasar untuk berpikir bahwa iman berasal dari upaya kita sendiri. Tradisi-tradisi iman yang tidak alkitabiah sedemikian tersebar luas sehingga tidak mengherankan bahwa para pembenci-Allah sering kali menerima gagasan bahwa iman seperti Alice in Wonderland melihat betapa banyak hal mustahil yang dapat dia percayai sebelum sarapan. Kita perlu menunjukkan bahwa hanya aksioma alkitabiah yang memberikan pandangan dunia yang konsisten pada diri sendiri dengan dasar rasional untuk moralitas dan memang untuk sains itu sendiri, sementara ateisme harus mendalilkan keyakinan tertentu yang tidak dapat dibuktikan yang bertentangan dengan sains yang dapat diamati, seperti yang ditunjukkan dalam balasan ini kepada seorang ateis.
  1. Non-overlapping Magisteria (NOMA) atau magisterial yang tidak saling tumpang tindih. Francis Bacon, Galileo, beberapa Paus Katolik Roma baru-baru ini, dan bahkan ateis seperti Stephen Jay Gould telah mempromosikan gagasan bahwa 'agama' dan 'sains' adalah dua bidang pemikiran yang terpisah (magisteria) yang tidak tumpang tindih. Mereka dapat hidup berdampingan tanpa kompetisi atau interaksi. Ruang Tanda Tangan Kapel Sistine di Roma memiliki mural besar karya Raphael, dilukis pada awal tahun 1500-an. Sebuah lukisan di satu dinding melambangkan 'filsafat', yang menggabungkan ilmu pengetahuan, dan satu di dinding yang berlawanan, 'teologi'. Ini mungkin merangkum gagasan 'dua magisteria'. Pernyataan bahwa 'Alkitab memberi tahu kita cara untuk pergi ke Surga, bukan bagaimana cara surga terjadi, juga mencerminkan gagasan itu. Seringkali pernyataan iman di gereja, mungkin secara tidak sengaja, menggemakan konsep ini: 'Alkitab berwibawa dalam hal iman dan praktik.' Tentunya jika Alkitab adalah Firman Sang Pencipta - Allah yang mengetahui segala sesuatu, maka itu adalah otoritatif atas segala yang kepadanya ia berfirman? Bagaimana dengan sejarah Alkitab? Apakah itu resmi? Apakah Yesus benar-benar bangkit dari kematian atau itu hanya sebuah konsep teologis?
  1. Tasawuf/mistisisme. Pendekatan Ini menekankan Tuhan sebagai pribadi yang 'melampaui akal'; bahwa 'iman' tidak membutuhkan pemikiran rasional. Ini melibatkan pusat konsentrasi pada pengalaman religius tanpa melibatkan pikiran. Di beberapa kalangan, 'Zaman Baru' ide-ide yang dipinjam dari mistisisme timur (Buddhisme / Hindu) telah merangkak masuk, dengan meditasi pengosongan pikiran dipromosikan sebagai sarana untuk mencapai 'perdamaian spiritual'. Namun, Alkitab memerintahkan kita untuk bermeditasi dengan merenungkan Firman Tuhan, dan bukan perenungan kosong (baca Mazmur 119). Yesus menyatakan Perintah Pertama sebagai "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu". Kita harus menyembah Tuhan dengan seluruh keberadaan kita.
    Postmodernisme adalah bentuk mistisisme. Pendekatan ini menyangkal realitas objektif yang ada secara independen dari apa yang kita pikirkan tentangnya. Namun, Allah menciptakan manusia menjelang akhir Pekan Penciptaan (yang, dibandingkan dengan ribuan tahun karenanya, masih akan berada pada awal penciptaan, seperti yang dikatakan Yesus dalam Markus 10: 6), setelah Ia menciptakan segala sesuatu yang lain, dan kemudian menyatakan ini "amat baik" (Kejadian 1:31). Ini menyiratkan bahwa banyak dari tatanan ciptaan ada, dan bahwa Allah telah secara objektif menilai ini sebagai kondisinya, terlepas dari pendapat manusia mengenai hal itu.

Referensi dan catatan

  1. Batten, D., “It’s not science!”, February 2002; creation.com/notscience. Kembali ke teks.
  2.  Hukum non-kontradiksi: bahwa suatu hal tidak dapat benar dan sekaligus tidak benar (dalam konteks yang sama). Sebagai contoh, jika saya hidup, maka saya tidak bisa mati pada saat yang bersamaan (dalam arti yang sama). Kembali ke teks.
  3.  Kausalitas: Hubungan sebab dan akibat. Prinsip bahwa setiap peristiwa memiliki penyebab yang cukup. Kembali ke teks.
  4. Murphy, M., My Christian Apology: Apologetics: Explained and Applied, Theocentric Publishing Group, 2011. Kembali ke teks.
  5.  Hermeneutika = metode atau prinsip yang digunakan untuk memahami teks. Di sini kita tidak mengacu pada prinsip bahwa "Alkitab menafsirkan Alkitab" di mana satu perikop menjelaskan yang lain; kami akan menegaskan ini. Misalnya, ketika mempertimbangkan bagaimana kitab Kejadian dimaksudkan untuk dipahami, kami menemukan bahwa bagian-bagian lain dari Alkitab merujuknya sebagai narasi sejarah, yang kemudian mengarahkan pendekatan kami. Kembali ke teks.
  6. Hoeksema, H., The Clark-Van Til Controversy (based on his Standard Bearer editorials from 1944–1946), p. 8, 1995; cf. also pp. 26, 27. Kembali ke teks.
  7. Téglás, E., et al., Intuisi probabilitas membentuk apa yang dapat diharapkan tentang masa depan dalam jangka 12 bulan ke atas. Proc Natl Acad Sci USA 104(48):19156–19159, 2007 | doi: 10.1073/pnas.0700271104. Kembali ke teks.
  8. Catchpoole, D., Anak-anak melihat dunia yang ‘dirancang’!, July 2009; creation.com/kids-designed. Kembali ke teks.
  9.  Ini tidak berarti bahwa tidak ada teka-teki ilmiah yang tersisa untuk diselesaikan dengan pandangan dunia Alkitabiah. Pengetahuan kita selalu terbatas dan pemahaman kita akan selalu terbatas. Kembali ke teks.
  10. Nunn, W., Thomas Nagel—Ateis yang berani menyangsikan materialisme, March 2014; creation.com/nagel-materialism. Kembali ke teks.
  11. Batten, D., Meskipun diterima secara luas, Teori Besar Evolusi benar-benar sangat tidak masuk akal, Creation 33(1):6, 2011; creation.com/evolution-preposterous. Kembali ke teks.
  12.  Studi tentang bagaimana kita mengetahui sesuatu adalah disiplin formal yang dikenal dengan istilah epistemologi.. Kembali ke teks.
  13. Reed, J.K., Rocks Aren’t Clocks, Creation Book Publishers, p. 47, 2013; and Sarfati, J., The biblical roots of modern science, September 2009; creation.com/roots. Para ilmuwan secara universal menerima anggapan-anggapan ini untuk alasan sederhana hari ini bahwa anggapan tersebut berlaku, tetapi tidak ada alasan yang masuk akal untuk hal ini menjadi berlaku di luar wawasan dunia Alkitabiah. Misalnya, mengapa undang-undang harus dapat dimengerti oleh kita dan mengapa mereka tidak berubah? Atau mengapa hukum seperti di bumi ini diasumsikan berlaku sama dengan yang di galaksi yang jauh? Kembali ke teks.
  14. Accidental angle, creation.com/cs-lewis-on-materialistic-thoughts. Creation 21(2):47; March 1999. Kembali ke teks.
  15. Sarfati, J., DNA: the best information storage system, June 2015; creation.com/dna-best; and Williams, A., Astonishing DNA complexity demolishes neo-Darwinism, J. Creation 21(3):111–117, December 2007. Kembali ke teks.
  16. Misalnya, ‘motor rotari’, sistesis ATP, atau sistem pengiriman kinesin, atau polimerase RNA, atau hampir semua dari ratusan jalur biokimia pada makhluk hidup. Kembali ke teks.
  17. Genetics and geographical distribution, April 2011. See also Catchpoole, D., The importance of evidence, creation.com/evidence. Creation 30(3):6, June 2008. Kembali ke teks.
  18. Beisner, E.C., Classical Presuppositional Apologetics: Re-introducing an Old Theme, 2001, revised 2006, 34 pp.; http://ecalvinbeisner.com/freearticles/ClassPresup.pdf. Kembali ke teks.
  19. Ref. 3. Kembali ke teks.
  20. See Bates, G., The ‘knockout punch’ syndrome, creation.com/ko. Creation 34(3):24–27, 2012; Kembali ke teks.
  21. CARM, carm.org. Kembali ke teks.
  22. Sarfati, J., Why use apologetics for evangelism? creation.com/apologetics-evangelism. January 2008; Kembali ke teks.